BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam
pandangan linguistik, bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer dan
bermakna serta berfungsi sebagai sarana komunikasi. Sebagai sistem
lambang bunyi yang arbitrer, maksudnya adalah bahwa dalam bahasa itu tidak ada hubungan wajib atau hakiki antara lambang sebagai hal yang menandai wujud kata atau leksem dengan benda yang ditandai, yaitu referen dari kata atau leksem tersebut (Chaer, 2002: 1).
lambang bunyi yang arbitrer, maksudnya adalah bahwa dalam bahasa itu tidak ada hubungan wajib atau hakiki antara lambang sebagai hal yang menandai wujud kata atau leksem dengan benda yang ditandai, yaitu referen dari kata atau leksem tersebut (Chaer, 2002: 1).
Bentuk bahasa
merupakan bagian dari bahasa yang terdiri dari unsur-unsur segmental
danunsur-unsur suprasegmental. Unsur-unsur segmental bahasa secara hierarkis terdiri
dari wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, dan morfem. Adapun
unsur-unsur suprasegmental terdiri dari intonasi dan unsur-unsur
bawahannya, yaitu tekanan (keras-lembutnya), nada (tinggi-rendahnya), dan durasi
(panjang-pendeknya).
Berbicara
mengenai wacana, Mulyana (2005: 1) mendefinisikannyasebagai unsur kebahasaan
yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan kebahasaannya meliputi
fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan
utuh.
Berdasarkan
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam heirarki gramatikal. Sejalan
dengan pendapat Mulyana, Tarigan(1987: 27) mengartikan wacana sebagai satuan
bahasa terlengkap dan tertinggi diatas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata
disampaikan secaralisan maupun tulisan.
Salah
satu contoh dari wacana tertulis ialah artikel. Artikel merupakan karya tulis
lengkap, misalnya laporan berita, surat kabar dan lain sebagainya ( KBBI ).
Atau bisa juga artikel merupakan sebuah karangan atau prosa yang di muat dalam
media massa, yang membahas isi tertentu, persoalan atau kasus yang berkembang
dalam masyarakat secara lugas ( Hartono 2005:84 ). Dalam makalah saya kali ini,
saya mengambil sebuah artikel berbahasa bali yang berjudul Belog, Lacur, Lan
Tuna ( BLT ). Artikel ini sangat
menarik jika dianalis dari segi kohesinya, dimana terdapat suatu perpaduan kata
yang bagus sehingga artikel ini menarik untuk dibaca sekaligus untuk dianilis.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah
hakikat wacana?
2. Apakah
hakikat kohesi pada wacana?
3. Apakah
hakikat unsur gramatikal?
4. Apakah
hakikat unsur leksikal?
5. Bagaimanakah
kajian kohesi gramatikal dan leksikal dari artikel tersebut?
1.3
Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui hakikat wacana
2. Untuk
mengetahui hakikat kohesi pada wacana
3. Untuk
mengetahui hakikat unsur gramatikal
4. Untuk
mengetahui hakikat unsur leksikal
5. Untuk
mengetahui kajian kohesi gramatikal dan leksikal pada artikel
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Wacana
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita dapat memperoleh gambaran tentang
wacana sebagai berikut:
Wacana : 1. ucapan, perkataan, tuturan
2. keseluruhan tuturan, yang
merupakan kesatuan
3. satuan bahasan terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan
yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel.
Dalam
pandangan linguistik, bahasa merupakan sistem lambang bunyiyang arbitrer dan
bermakna serta berfungsi sebagai sarana komunikasi. Sebagaisistem lambang bunyi
yang arbitrer, maksudnya adalah bahwa dalam bahasa itutidak ada hubungan wajib
atau hakiki antara lambang sebagai hal yang menandai wujud kata atau leksem
dengan benda yang ditandai, yaitu referen dari kata atau leksem tersebut
(Chaer, 2002: 1). Bahasa sebagai sarana komunikasi terdiri dari dua bagian,
yaitu bentuk ( form ) dan makna ( meaning ) ( Ramlan, 1985: 48 ).
Bentuk bahasa
merupakan bagian dari bahasa yang terdiri dari unsur-unsur segmental
danunsur-unsur suprasegmental. Unsur-unsur segmental bahasa secara
hierarkisterdiri dari wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, dan morfem. Adapun
unsur-unsur suprasegmental terdiri dari intonasi dan unsur-unsur
bawahannya, yaitu tekanan ( keras – lembutnya ), nada ( tinggi – rendahnya ),
dan durasi ( panjang - pendeknya). Makna adalah isi yang terkandung di dalam
bentuk - bentuk itu yang dapat menimbulkan reaksi tertentu. Reaksi itu dapat
timbul karena mendengar atau membaca rangkaian kata - kata tertentu yang
membentuk frasa, klausa, kalimat ,atau wacana. Berbicara mengenai wacana,
Mulyana ( 2005: 1 ) mendefinisikannya sebagai unsur kebahasaan yang relatif
paling kompleks dan paling lengkap.
Satuan
kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa,
kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Berdasarkan pernyataan tersebut,
dapat dipahami bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan
merupakan satuan tertinggi dalam heirarki gramatikal. Sejalan dengan pendapat
Mulyana, Tarigan ( 1987: 27 )
mengartikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi diatas
kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi
yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan
secara lisan maupun tulisan.
Berbagai
bentuk wacana lisan sebenarnya dapat direalisasikan melaluitulisan karena
penyampaian secara tulisan merupakan sarana yang paling efektif untuk
menyampaikan ide, gagasan, atau isi pikiran seseorang. Akan tetapi, wacana pada
dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian
dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat ( piranti )
yang cukup banyak.
Dari
batasan di atas dapat kita ambil sari patinya, bahwa wacana itu adalah satuan
bahasa terlengkap, dalam wujud lisan dapat berupa karangan sastra dan ilmiah.
Inti dari batasan di atas, bahwa wacana adalah komunikasi pikiran atau gagasan
melalui bahasa, dalam wujud lisan dapat berupa percakapan dan tuturan (ceramah,
kuliah, khotbah), dan dalam wujud tulisan dapat berupa karangan ilmiah.
2.2 Hakikat Kohesi pada Wacana
Sebuah teks terutama teks tulis
memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk
teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam
wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk
ikatan sintaktikal. Sejalan dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam
Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh menayaratkan
kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu
kohesi gramatika dan kohesi leksikal.
Sejalan
dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi
merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan Abdul Rani,
Bustanul arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan
antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsure bahasa. Gutwinsky
(dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu pada hubungan
antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran
leksikal.
Wacana
dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa baik dengan ko-teks
(situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar bahasa). Konsep kohesi pada
dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau
kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara
padu dan utuh.
Brown
dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur pembentuk
teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks
atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat Anton M.
Moeliono ( dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan
semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan unsur-unsur
lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks; pertautan
logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara
unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah
pengertian yang apik.
Kohesi
dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pembedaan tesebut dapat di jabarkan dalam
kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini
merupakan bagian dari kohesi endosentris. Karena kohesi dibagi menjadi dua ada
kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri dari:
referensi, subtitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi. Sedangkan konjungsi
leksikal terdiri dari: sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, repetisi dan
ekuivalensi.
2.3 Hakikat Unsur Gramatikal
1. Referensi
Menurut Yayat Sudaryat (2008:153) menyatakan bahwa referensi atau pengacuan
merupakan hubungan antara kata dengan acuan. Kata-kata yang berfungis sebagai
pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacu disebut antesede.
Referensi dapat berupa eksosentris (situasional) apabila mengacu ke anteseden
yang ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual) apabila yang
diacuanya terdapat di dalam wacana. Diperkuat dengan pendapat Mulyana (2005:
27) juga menyatakan bahwa referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi
gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk
menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya.
2. Subtitusi
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:28) menyatakan bahwa
subtitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian oleh unsure bahasa
oleh unsure lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk
memperoleh unsure pembeda atau menjelaskan strukur tertentu. Proses subtitusi merupakan
hubungan gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Sejalan dengan
pendapat tersebut Yayat Sudaryat (2008: 154) menyatakan bahwa subtitusi mengacu
pada penggantian kata-kata dengan kata lain. Subtitusi mirip dengan referensi.
Perbedaanya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan subtitusi merupakan
hubungan leksikan atau gramatikal. Selain itu, subtitusi dapat berupa proverb,
yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tidakan, keadaan, hal, atau isi
bagian wacana yang sdauh disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa
subtitusi kalusal.
3. Elipsis
Yayat Sudaryat (2008: 155) ellipsis merupakan penghilangan satu bagian dari
unsure kalimat. Sebenarnya ellipsis sama dengan subtitusi, tetapi ellipsis
disubtitusi oleh sesuatu yang kosong. Ellipsis biasanya dilakuakn dengan
menghilangkan unsure-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan
pendapat harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:280 elipsis
(penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau sataun-satuan
kebahasaan lain. Bentuk atau unsure yang dilesapkan dapat diperkirakan ujudnya
dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa.
4. Konjungsi
Yayat Sudaryat (2008: 155) menyatakan bahwa konjungsi merupakan kata-kata yang
digunakan untuk menghubungkan unsure-unsur sintaksis (frasa, kalusa, kalimat)
dalam satuan yang lebih besar. Harimurti Kridalaksana dan H. G. Tarigan dalam
(Mulyana, 2005: 29) menyatakan bahwa konjungsi atau kata sambung adalah bentuk
atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau
penghubung angtara kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalusa dengan klausa,
kalimat dengan kalimat dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana pernagkai
unsure-unsur kewacanaan. Sebagai alat kohesi, berdasarkan perilaku sintaksisnya
konjungsi dapat dibedakan sebagai berikut:
- Konjungsi koordinatif yang menghubungkan unsure-unsur sintaksis yang sederajat seperti dan, atau, tetapi;
- Konjungsi subordinatif yang menghubungkan unsure-unsur sintaksis yang tidak sederajat seperti waktu, meskipun, jika;
- Konjungsi korelatif yang posisinya terbelah, sebagian terletak di awal kalimat, dan sebagian legi di tengah kalimat seperti baik, ….maupun, ..meskipun,…tapi…;
- Konjungsi antarkalimat yang menghubungkan kalimat-kalimat dalam sebuah paragraph. Konjungsi ini selalu ada di depan kalimat seperti karena itu, oleh sebab itu, sebaliknya, kesimpulannya, jadi…
2.4
Hakikat Unsur Leksikal
Kohesi leksikal adalah
hubungan antarkalimat yangdisebabkan oleh adanya kata-kata yang secara leksikal
memiliki pertalian.Hubungan leksikal ini dibagi menjadi dua, yaitu reiterasi
dan kolokasi.
1.
Reiterasi
Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonimi, hiponimi.
a.
Repetisi adalah pengulangan kata yang mempunyai
kesamaan bentuk dan makna.
b.
Sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan
adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran yang lain.
c.
Hiponimi adalah hubungan semantik antara
sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang
lain(Chaer, 2003: 305).
2.
Kolokasi
Kolokasi diciptakan melalui antonimi, dan ekuivalensi.
Kebalikan dari sinonimi adalah antonimi. Antonimi yakni dua buah satuan ujaran
yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu
dengan yang lain.
3.
Ekuivalensi
Ekuivalensi merupakan makna yang sangat berdekatan; lawan
dari kesamaan bentuk (Kridalaksana, 2008: 56).
2.5
Kajian Kohesi Gramatikal dan
Leksikal Artikel Berbahasa Bali
Artikel Berbahasa Bali yang
berjudul :
Belog,
Lacur, Lan Tuna ( BLT )
( 1 ) Aget lan lacur kocap tong dadi alih lan ulah. Sugih lan lacur kocap
tong dadi uber lan kelidin. Ilehan lan eduman idup ring guminé: suka, duka lara, lan pati taler tan dados tunas lan
impasin. Nanging sapunika, i raga tetep patut mautsaha
makarya sané pinih becik, nénten masukserah ring nasib. Yéning sampun makarya
sané becik, pastika polih asil sané becik, kocap.
( 2 ) Nincapnyané pangargan bahan bakar minyak (BBM) ungkuran
puniki, ngwetuang pikobet ring kramané. Akéh pakibeh kauripan kramané sané keni
pangaruh saking nincapnyané pangargan BBM-e puniki. Nambengin pikobet punika, pamrénteh ngicén
bantuan tunai langsung (BLT) ring kramané sané kabaos miskin. Sasampun
polih mamargi makudang-kudang warsa sané lintang lan wau-wau puniki sampun
ngawit mamargi ring makudang daérah, akéh kadadosang bebaosan, akéh
kabligbagang olih kramané. Mangéndahan wiakti pikayunan kramané indik BLT puniki.
Krama miskin polih wantuan langsung marupa jinah. Wénten sané nakénang napi
sané kaanggé patokan maosang silih tunggil krama kabaos miskin. Ring Bali wénten belog lacur tuna taler
dados kacutetang BLT. Napiké sané sapunika polih BLT, wantuan saking pemerintah?
( 3 ) Kruna miskin ring
basa Indonésia taler kaanggé ring basa Bali. Miskin sampun lumrah
kaanggé ri kala mabebaosan miwah masesutana nganggé basa Bali. Kruna miskin punika
sampun kaselang lan kaanggé ring basa Bali.
Ring basa Bali, linanan ring miskin, wénten taler lacur, tiwas,
tuna, miwah sané lianan.
( 4 ) Kruna lacur,
tiwas, tuna punika taler ring basa Bali kaanggé ngandapang raga, ngasorang
déwék. Tiang belog; tiang lacur;
tiang tuna; miwah sané lianan. Wénten sesambat cara Baliné sané sering
kucapang olih krama Baliné, “Yéning suba paéndépan baan, joh para lakar ulug
maglebug.” Anak Bali kocap tan seneng ngajumang raga.
( 5 ) “Eda ngadén awak bisa,” sapunika ketah taler sesambat kramané ring
Bali. Nanging sapunika, i raga patut purun ngangken
bisa. Yaning sujati uning, i raga
patut ngangkén bisa. Mangkin wénten anaké nungkalikang sesambaté punika, “Kadén
awaké bisa, eda ngadén awaké tusing bisa.” Punika kocap raos ngedénang bayu.
Ring Jawi, basa
Jawi sugih katungkalikang kéré, mlarat. Sametoné ring Jawi koap tan kayun kéré,
mlarat. Sami mapikayun sugih, minab sapunika taler krama Baliné.
Kersten ring Kamus
Lumrah Bahasa Bali (1984) ngunggahang
kruna lacur, maartos (1) miskin; malang; cacat; (2) mati.
Kaunggahang lengkara: Nyén lacur: dingeh tiang munyin kulkul cirin anak
mati?
( 6 ) Lianan ring kruna lacur, Kersten taler nguggahang kruna tiwas,
kadagingin artos miskin. Kaunggahang klompok kruna tiwas nékték,
tiwas déngkék sané maatos miskin pisan.
( 7 ) Kruna sané maartos
nampek sareng lacur lan tiwas inggih punika kruna tuna lan
lara. Tuna maartos kirang. Kacontoang: Saking tuna pepineh ‘antuk
tuna pangresep’. Riantukan kirang pangresep. Sambung tuna (basa
Indonésia: serba kurang). Tuna liwat (basa biasa); kirang langkung
(basa alus). Kadagingin conto lengkra: Ampurang menawi tuna liwat antuk
titiang nuturang. Kruna turunan tuna minakadi
katunan ‘kakirangan’. Klompok krunannyané
tunaan daar, tunaan daya. Kadagingin conto antuk katunan
manah (riantukan kabelogan). Titiang i katunan ‘titiang sané belog
puniki’. Patunain, matunain: mitunain maroko ‘ngirangin maroko’. Pitunain
naar lalah!
Kruna lara maartos (1)
cacad, sakadi picih, buta, lumpuh; (2) keni sakit: Kalara-lara ‘setata
katibén sakit’.
( 8 ) I Gusti Madé Sutjaja ngungahang kalih kruna lacur ring Kamus
Sinonim Bahasa Bali (2003). Kruna lacur kapertama pateh ring papa
(basa alus), tiwas, tuara. Lacur katungkalikang antuk sugih, basa
Indonésiannyané wantah miskin lan basa Inggrisnyané poor.
( 9 ) Kruna lacur kaping
kalih pateh ring béda, sengkala. Kruna lacur puniki katungkalikang
antuk aget. Basa Indonésia lacur inggih punika celaka,
kecelakaan lan basa Inggrisnyané accident, misha.
( 10 ) Dané taler ngungahang kruna
tuara sané pateh ring lacur, papa (kruna alus), tiwas. Tuara Katungkalikang
antuk sugih. Basa Indonésian tuara inggih punika miskin, tidak
(ber)punya, basa Inggrisnyané no(t), poor, have nothing.
( 11 ) Yéning selehin malih ring A Basic Balinese Vocabulary
(1977) sané kasurat olih Norbert Shadeg wénten kruna basa Inggris poor sané kaartosang miskin (basa
Indonésia). Wénten makudang conto lengkara sané maiketan sareng lacur. (1)Dini
liunan anaké lacur-lacur tuara ngelah carik amunapa. (2) Kangen atiné
tekén anak ané kalara-lara. (3) Ipun tiwas ulihan kereng matajén.
(4) Ida anak mula sakadi anak miskin ngajengan.
( 12 ) Ring buku punika Norbert Shadeg ngunggahang pah-pahan kruna basa Bali antuk ia,
ipun, lan ida. Kaunggahang poor (English), miskin
(Indonesia), lacur, tiwas (nista) (ia), lara, tiwas (ipun), miskin
(ida).\
Ø
Artikel diatas Nampak sudah padu atau kohesi,
hal itu terlihat dari penggalan – penggalan kalimat yang sudah saling berkaitan
antara kalimat satu dengan kalimat dua dan seterusnya. Penggunaan kohesi yang
tepat akan menghasilkan kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal.
I.
Kohesi Gramatikal merupakan hubungan semantik antar
unsur yang dimarkahi alat gramatikal – alat bahasa yang digunakan dalam
kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi garamatikal dapat berwujud referensi,
substitusi, ellipsis, dan konjugasi.
A.
Referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi
gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk
menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya. Referensi
mempunyai 3 bagian, yaitu persona ( kata ganti orang ), demonstatif ( tertuju
pada tempat dan waktu ), komparatif ( perbandingan kata ). Dalam artikel ini,
referensi dalam bagian persona ditunjakkan pada alenia 1 baris 3 dan alenia 5
baris 2. Dalam alenia tersebut terdapat kata I Raga yang menunjukkan kata ganti orang ke 2. Selanjutnya referensi
dalam bagian demonstatif ditunjukkan pada alenia 1 baris 2, 8 baris 9 dan 5
baris 5. Dalam artikel tersebut terdapat kata gumine, bali dan jawi yang menunjukkan suatu tempat atau wilayah.
B.
Proses subtitusi merupakan hubungan gramatikal, dan
lebih bersifat hubungan kata dan makna. Sejalan dengan pendapat tersebut Yayat
Sudaryat (2008: 154) menyatakan bahwa subtitusi mengacu pada penggantian
kata-kata dengan kata lain. Dalam artikel ini substitusi terdapat pada alenia 2
baris 4 yaitu kata pikobet punika.
C.
Konjungsi Harimurti Kridalaksana dan H. G. Tarigan
dalam (Mulyana, 2005: 29) menyatakan bahwa konjungsi atau kata sambung adalah
bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai,
atau penghubung angtara kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalusa dengan
klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya. Dalam artikel ini, konjungsi
terdapat pada alenia 1 baris 3 dan 5 baris 2 yaitu kata nagging yang merupakan
konjungsi antar kalimat.
II.
Kohesi Leksikal adalah hubungan semanstis antar unsure
pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Kohesi leksikal
dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.
A.
Dalam reiterasi terdapat antonimi ( kata yang
berlawanan ), polisemi ( satu kata tapi mempunyai banyak arti ), dan sinonimi (
makna yang sama ). Dalam artikel tersebut antonimi terlihat pada alenia 9 baris
2 yaitu . Kruna lacur puniki katungkalikang antuk aget. Selanjutnya
sinomini terdapat pada alenia 3 baris dan 4 baris 2 yaitu kata Ring basa Bali, linanan ring miskin, wénten taler lacur, tiwas, tuna, miwah sané
lianan dan kalimat Tiang belog;
tiang lacur; tiang tuna; miwah sané lianan.
B.
Ekuivalensi merupakan makna yang sangat berdekatan;
lawan dari kesamaan bentuk (Kridalaksana, 2008: 56). Dalam artikel ini
ekuivalensi terdapat pada hamper di semua kalimat yaitu kata kruna dan krunanyane yang memilki kedekatan makna yang sama – sama
berkata dasar kruna.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah komunikasi pikiran
atau gagasan melalui bahasa, dalam wujud lisan dapat berupa percakapan dan
tuturan (ceramah, kuliah, khotbah), dan dalam wujud tulisan dapat berupa
karangan ilmiah. Sebuah teks
(terutama teks tulisan) memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah
satu unsur pembentuk teks yang penting. Brown dan yule (1983:191) menyatakan
bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu
sebagai sebuah teks atau bukan teks.
Penggunaan
kohesi yang tepat akan menghasilkan kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal.
Kohesi Gramatikal merupakan hubungan semantik antar unsur yang dimarkahi alat
gramatikal – alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa.
Kohesi garamatikal dapat berwujud referensi, substitusi, ellipsis, dan
konjugasi. Kohesi Leksikal adalah hubungan semanstis antar unsur pembentuk
wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Kohesi leksikal dapat
diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar